Senin, 02 Januari 2017

Persahabatan yang semu (2)


Dahulu, kau sempat hinggap untuk beberapa waktu dalam aktivitas detik, menit, jam, hingga sepanjang hari di tempat belajar kita.
Dahulu, kau sempat tawarkan sebuah rasa manis yang berujung rasa pahit hingga ujung masa hubungan kita.
Dahulu, sempat ku rasakan bahagia terus tumbuh di hari-hari dimana kau agungkan sebuah hubungan denganku.
Dahulu, sempat ingin ku bagikan dan tularkan rasa haruku pada semua orang yang ku temui di tiap jalan tepi hijau yang enam hari selalu ku lalui.
Dahulu pula, kau buat semua hubungan yang berharap sia itu semakin jelas kesiaannya di penghujung kebersamaan kita.

Masih teringat jelas, ketika kau memanggil namaku seolah kita sudah berkawan lama. Dan aku selalu saja merasa berbunga kala ada orang tak ku kenal yang mengenalku. Walau hanya sekedar nama saja. Aku memang tak pernah menolak hubungan dengan sesama yang secara terang-terangan ingin dibangun. Haruskah ku jelaskan kerendahan tingkatku untuk menjelaskan semua?
Awalnya, bahagia. Karena kamu orang yang cukup supel, sangat cerewet dan cenderung ceplas ceplos menyatakan pendapat.
Awalnya, toleransi. Karena sikap keterusteranganmu yang ku anggap sebagai sarana perbaikan diriku yang cenderung tertutup pada orang baru.
Namun, semuanya hanya berhenti pada kata “awalnya” saja.
Akhirnya, menyerah. Karena setelah bahagia tercipta lantas mencoba toleran akan sikapmu, namun kau malah kelewatan batas memahami sebuah hubungan.
Terlalu banyak kebohongan, kepura-puraan, dan bahkan kau sudah berani memfitnahku dan “sahabatmu” yang lain di belakang kami.
Dahulu, perih itu ada dan bahkan sudah membentuk kubangan luka lebar di sana sini. Kata orang, “Hubungan persahabatan harus jujur dan terbuka”. Sempat terpikir untuk mengajakmu bicara dan mendiskusikan semua hal. Kami ingin bicara padamu kala itu, namun kau malah sibuk dan mulai membuka jejaring baru dengan para teman lelakimu. Kau bilang pada mereka bahwa kita berteman, oh tidak. BERSAHABAT, katamu. Dan kau mengatakannya seolah kau sangant bangga dengan adanya “kita” dalam kamus hidupmu. Namun, semuanya hanya di mulutmu saja dan perlakuanmu menjelaskan permusuhan yang begitu nyata. Kami juga tak pernah menyangka akan seperti itu. Sampai serumit itu hubungan kita.
Kau bahkan harus berpura-pura beradegan sakit keras hanya untuk mencari perhatiankah? Atau motif-motif lainnya? Aduh, kami benar-benar tidak menyangka kau bisa seperti itu. Sungguh!
Persahabatan yang kau agungkan melalui lisanmu, malah kau nodai sendiri dengan lakumu yang tak masuk akalku.



Polewali Mandar, 2 januari 2017 di mantan kamar tidurku.
Iseng membuka buku lawas dan melihat sebuah puisi kekecawaan yang ku tulis karena tugas bahasa waktu itu. Terima kasih atas persahabatan semu yang kau tawarkan dan ciptakan padaku. Melaluimu, aku jadi belajar banyak tentang kesetiaan, kejujuran, dan tentunya kesabaran. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar