Dahulu, kau sempat hinggap untuk beberapa waktu dalam
aktivitas detik, menit, jam, hingga sepanjang hari di tempat belajar kita.
Dahulu, kau sempat tawarkan sebuah rasa manis yang berujung
rasa pahit hingga ujung masa hubungan kita.
Dahulu, sempat ku rasakan bahagia terus tumbuh di hari-hari
dimana kau agungkan sebuah hubungan denganku.
Dahulu, sempat ingin ku bagikan dan tularkan rasa haruku
pada semua orang yang ku temui di tiap jalan tepi hijau yang enam hari selalu
ku lalui.
Dahulu pula, kau buat semua hubungan yang berharap sia itu
semakin jelas kesiaannya di penghujung kebersamaan kita.
Masih teringat jelas, ketika kau memanggil namaku seolah
kita sudah berkawan lama. Dan aku selalu saja merasa berbunga kala ada orang
tak ku kenal yang mengenalku. Walau hanya sekedar nama saja. Aku memang tak
pernah menolak hubungan dengan sesama yang secara terang-terangan ingin
dibangun. Haruskah ku jelaskan kerendahan tingkatku untuk menjelaskan semua?
Awalnya, bahagia. Karena kamu orang yang cukup supel, sangat
cerewet dan cenderung ceplas ceplos menyatakan pendapat.
Awalnya, toleransi. Karena sikap keterusteranganmu yang ku
anggap sebagai sarana perbaikan diriku yang cenderung tertutup pada orang baru.
Namun, semuanya hanya berhenti pada kata “awalnya” saja.
Akhirnya, menyerah. Karena setelah bahagia tercipta lantas
mencoba toleran akan sikapmu, namun kau malah kelewatan batas memahami sebuah
hubungan.
Terlalu banyak kebohongan, kepura-puraan, dan bahkan kau
sudah berani memfitnahku dan “sahabatmu” yang lain di belakang kami.
Dahulu, perih itu ada dan bahkan sudah membentuk kubangan
luka lebar di sana sini. Kata orang, “Hubungan persahabatan harus jujur dan
terbuka”. Sempat terpikir untuk mengajakmu bicara dan mendiskusikan semua hal.
Kami ingin bicara padamu kala itu, namun kau malah sibuk dan mulai membuka
jejaring baru dengan para teman lelakimu. Kau bilang pada mereka bahwa kita
berteman, oh tidak. BERSAHABAT, katamu. Dan kau mengatakannya seolah kau
sangant bangga dengan adanya “kita” dalam kamus hidupmu. Namun, semuanya hanya
di mulutmu saja dan perlakuanmu menjelaskan permusuhan yang begitu nyata. Kami
juga tak pernah menyangka akan seperti itu. Sampai serumit itu hubungan kita.
Kau bahkan harus berpura-pura beradegan sakit keras hanya
untuk mencari perhatiankah? Atau motif-motif lainnya? Aduh, kami benar-benar
tidak menyangka kau bisa seperti itu. Sungguh!
Persahabatan yang kau agungkan melalui lisanmu, malah kau
nodai sendiri dengan lakumu yang tak masuk akalku.
Polewali Mandar, 2 januari 2017 di mantan kamar tidurku.
Iseng membuka buku lawas dan melihat sebuah puisi kekecawaan yang ku tulis karena
tugas bahasa waktu itu. Terima kasih atas persahabatan semu yang kau tawarkan
dan ciptakan padaku. Melaluimu, aku jadi belajar banyak tentang kesetiaan, kejujuran, dan tentunya kesabaran. :)